Oleh: Irsyad Muhammad
Nanti menoleh ke arah Kosasih. Dia cukup senang karena kekasihnya sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Nanti melanjutkan kisahnya. “Ketika umurku empat tahun, Ibuku pernah bilang kalau setiap orang yang meningggal akan menjadi bintang, dan bertahun-tahun
aku terus percaya akan hal itu. Lalu setiap malam aku melihat ke atas langit melalui jendela kamar, dan berasumsi bahwa bintang yang
paling besar dan terang adalah Ayahku. Dan setelah Ibuku meninggal dua tahun
lepas, hampir tidak satu malam pun aku absen ke bukit ini, agar bisa berjumpa
dengan kedua orang tuaku.”
Kosasih masih diam, membiarkan Nanti melepaskan semua kenangannya.
“Ya, aku tahu apa yang kau pikirkan. Tak seperti di desa dulu, di bawah
sana, hiruk-pikuk kota membuat langit tampak muram pada malam hari. Tak ada
bintang yang terlihat, aku tidak bisa menemui Ayah dan Ibuku lagi. Tampak
berbeda jika dari atas bukit ini, bintang-bintang terlihat dengan jelas.” Air
mata mulai menetes dari pelupuk matanya. “Aku sangat menyayangi mereka, mereka
bintang sesungguhnya di hidupku.”
Nanti menoleh sekali lagi, melihat kekasihnya. Sudut bibirnya melebar seperti teringat sesuatu yang menyenangkan. “Sekarang kau tahu kenapa aku membawamu ke sini,
bukan? Kau adalah orang yang sangat aku sayangi setelah kedua orang tuaku. Kau harus bertemu mereka di atas sana.”
Tepat setelah itu, Nanti menghujamkan pisau
dapur yang sedari tadi digenggamnya, menuju ulu hati Kosasih. Kosasih
mengeram, coba berontak. Panjang pisau dapur itu hanya sepantaran jengkalnya, butuh sedikit usaha
agar tak menusuk lebih dalam. Nyawa Kosasih dalam genggaman Nanti.
Sejak awal dia tahu apa yang akan dihadapinya malam ini. Apa daya, tak banyak yang bisa dia lakukan dengan kondisi mulut tersumpal serta tangan dan kaki yang terikat. Darah memaksa keluar dari mulutnya, membuat merah pekat kain sumpalan di mulutnya. Kosasih meronta-ronta, masih sempat mengerang, sebelum nyawanya benar-benar melayang beberapa detik kemudian.
Sejak awal dia tahu apa yang akan dihadapinya malam ini. Apa daya, tak banyak yang bisa dia lakukan dengan kondisi mulut tersumpal serta tangan dan kaki yang terikat. Darah memaksa keluar dari mulutnya, membuat merah pekat kain sumpalan di mulutnya. Kosasih meronta-ronta, masih sempat mengerang, sebelum nyawanya benar-benar melayang beberapa detik kemudian.
“Aku akan ke atas bukit ini
setiap malam, bertemu tiga orang yang sangat aku sayangi,” Nanti beranjak pergi, meninggalkan Kosasih
yang terbujur kaku dengan pisau dapur yang masih tegak menancap di ulu hatinya.
Ayah, Ibu, kenalkan, ini Kosasih, kekasihku.
Kalo sayang kenapa mesti dibunuh?:')
BalasHapuskalo sayang kenapa tega menghujamkan pisau itu?
kesyeeel aslik :(
niatnya memang mau bikin yang baca jadi kesel kok hehe xD
Hapuswihwihwih, ini genrenya romance-thriller. provokatif sih bro ceritanya :")
BalasHapusprovokatif gmn nih maksudnya bro? xD
HapusJyaaa nanti psikopat juga ey, berarti karena pengen ngliat bintang orang orang dan disayang sampe tega menghabisi nyawa kosasih..,uwawww
BalasHapusyap, begitulah
HapusSerem amat di bunuh, trus kenapa ngak sekalian bunuh diri ??? biar bintang2 bersinar terang
BalasHapusbisa aje bro hahaha
HapusIhh seru;3
BalasHapusxD
HapusWaah pertamanya aja udah bikin nagih pengen baca lagi.
BalasHapusmenunggu kelanjutan.
BalasHapusPosting Komentar
Sila tinggalkan komentarnya.