Saya
sebenarnya tidak terlalu terkejut melihat kehadiran trasnportasi online yang
sebulan terakhir meramaikan jalan-jalan di kota Banda Aceh, mengingat Banda
Aceh yang merupakan Ibu Kota provinsi paling barat di Indonesia ini akan terus
berkembang dalam peranannya sebagai pusat kegiatan dan bisnis.
Namun,
beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari senin (16/10/2017), ratusan massa
yang terdiri dari penarik becak, supir labi-labi, supir taksi dan tukang ojek
konvesional memadati kantor Gubernur Aceh dalam rangka melaksanakan aksi demonstrasi
untuk menyuarakan penolakan kehadiran moda transportasi online di Banda Aceh
yang dirasa mereka “berat sebelah”.
Sebelumnya,
kota-kota besar lain di Indonesia sudah lebih dulu merasakan kehadiran
transportasi online ini (Go-Jek, Grab, dan Uber), dan pada awal kehadirannya di
masing-masing kota, selalu menimbulkan polemik yang sama.
Kita
mundur ke belakang ketika seorang pemuda lulusan Harvard mencoba menghadirkan
inovasi baru dalam pelayanan jasa transportasi di Jakarta. Bermodal inovasi
berbasis online serta penawaran yang menggiurkan, para pelamar datang dari
berbagai lapisan masyarakat untuk sekiranya dapat bergabung di perusahaan tersebut.
Dalam waktu singkat, perusahaan penyedia layanan transportasi yang kita sebut
saja Go-Jek ini mendapat sambutan luar biasa atas kemudahan dan “kemurahan”
yang ia berikan kepada konsumennya.
Di awal
kehadirannya di Jakarta, berbagai polemik langsung berdatangan. Para supir
taksi konvensional, supir angkot, serta tukang ojek pengkolan juga pernah
melakukan aksi serupa seperti yang terjadi di depan kantor Gubernur Aceh
baru-baru ini. Setelah itu, peraturan terkait kehadiran transportasi online
mulai dibedah. Peraturan tentang pelarangan kendaraan roda dua untuk dijadikan
jasa angkutan umum mulai dipertanyakan. Selain itu, tarif Rp 3.500 per KM yang
mereka patok dirasa terlalu murah dan dapat mengancam eksistensi moda
transportasi lain yang masih konvensional.
Merambah
ke kota-kota lain
Tak menunggu waktu lama, kota-kota besar lain seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, hingga Makassar pun tak luput dari kehadiran jasa transportasi berbasis online ini. Dari semua kota yang dirambahi, pada awalnya juga selalu menimbulkan polemik. Bahkan, sering kita lihat berita di televisi, media cetak, dan di media sosial terkait kejadian-kejadian di lapangan. Para supir taksi konvensional memberhentikan supir taksi online yang sedang membawa penumpang dan memaksa penumpangnya untuk turun, pengerusakan-pengerusakan kendaraan, hingga aksi saling bentrok antara dua oknum kelompok moda transportasi online dan konvensional adalah sekian dari banyak kasus yang kita lihat di media-media. Pertanyaannya, apakah polemik di kota Banda Aceh akan sampai pada tahap tersebut: clash?
Pemerintah
harus turun tangan
Dalam hemat saya, potensi untuk terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti terjadinya clash antara oknum kelompok transportasi online dan konvensional di kota Banda Aceh bisa saja terjadi, tergantung apakah pemerintah bisa sigap menyikapi polemik itu sendiri. Artinya, pemerintah harus mengambil sikap dan keputusan, bila tidak segera, potensi tersebut akan membesar.
Dishub
Jawa Barat misalnya, yang beberapa waktu lalu mengeluarkan pelarangan untuk
moda transportasi online beroperasi sebelum memiliki peraturan baru yang sah.
Tentu saya tidak serta merta menyarankan pemerintah Aceh melakukan hal yang
sama seperti di Jawa Barat, karena skala konflik yang terjadi pada tiap wilayah
juga berbeda. Di Jawa Barat, aksi demonstrasi angkutan umum sudah sampai pada
ancaman untuk sama-sama mogok beroperasi, yang bila tidak segera diambil
keputusan, maka akan sangat berdampak pada aktivitas perekonomian di provinsi tersebut.
Namun yang perlu kita garis bawahi, pengambilan sikap dari Pemprov Jabar
tersebut harus segera dilakukan semata-mata agar polemik tidak menjalar ke
mana-mana lagi.
Kabar
baik langsung datang dari Pemerintah pusat melalui Kementrian Perhubungan yang
baru saja menyelesaikan revisi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan nomor 26
tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum Tidak dalam Trayek. Revisi tersebut berisi beberapa poin, diantaranya
menyebutkan bahwa kuota dan tarif transportasi online akan dikenakan batas
bawah dan batas atas, serta kuota dan tarif tersebut akan berbeda pada tiap
wilayah, tergantung usulan dari masing-masing provinsi. Hal ini menjadi pintu
awal yang baik untuk menyelesaikan polemik yang terjadi di hampir setiap kota
yang dirambahi moda transportasi online ini, dan menjadi dasar Pemprov Aceh
ataupun Pemkot Banda Aceh dalam menyelesaikan polemik yang semuanya hampir
serupa.
Pada
akhirnya, kehadiran moda transportasi berbasis online ini tidak dipungkiri lagi
sebagai interpretasi dari kemajuan zaman yang semakin hari semakin berkembang.
Mekanisme pasar yang bersifat kapitalis memang memberi keleluasaan bagi pelaku
usaha untuk terus berinovasi demi merebut hati konsumen. Namun harus tetap diingat
bahwa pasar juga tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri. Polemik berkepanjangan
yang terjadi di hampir seluruh wilayah yang dirambahi jasa transportasi online
ini—termasuk di Banda Aceh—membuktikan bahwa pasar masih tak mampu menyelesaikan
persoalan dengan sendirinya.
Kehadiran
penyedia layanan transportasi online, di satu sisi memberikan konsumen pilihan
baru yang lebih mudah, murah, dan juga cepat di tengah gaya hidup yang semakin menuntut
efisiensi. Di sisi lain, ada pelaku jasa transportasi kovensional yang juga
butuh uang dan sedang resah karena eksistensi mereka semakin terancam. Di sini
lah pemerintah harus turun tangan, yang diharapkan mampu menetapkan regulasi
yang menguntungkan kedua belah pihak, serta tetap memberikan konsumen untuk
bebas memilih jasa transportasi apa yang akan mereka gunakan: online atau
konvensional. Win-win solution.
Satu
yang pasti, untuk terus maju, kita tak perlu terlalu lama berputar pada polemik
dan harus segera menemukan jalan keluarnya. Selalu siap sedia terhadap
perubahan zaman menjadi sebuah keharusan agar bangsa kita tidak terus
tertinggal dengan bangsa-bangsa lain yang sudah selangkah lebih maju. Semoga.
Opini ini sebelumnya telah dimuat di surat kabar Serambi Indonesia Edisi Selasa 24 Oktober 2017 dengan judul yang sama. Sila diakses pada: http://aceh.tribunnews.com/2017/10/24/polemik-transportasi-online.
Sumber gambar:
- https://setara.net/wp-content/uploads/2017/04/polemik-ojek-online.jpg
- Dokumentasi pribadi
Namun Balubur Limbangan yang terkenal sebagai kota sado, pernah ada konflik serius antara sais sado dengan tukang ojek motor. Berkaitan dengan hierarki wilayah dan kecemburuan sosial. Sampai menimbulkan kericuhan.
BalasHapusSetiap zaman akan selalu ada yang membuat berubah dan dikorbankan.
Saya baru tahu bahwa ongkos ojol lebih murah. Kapitalisme demikian memngancam hikim pasar yang telah berlangsung dengan baik. Kekuasaan memegang peranan penting.lillah, baik, saja. Mbak Ajiek Kushajatie. Lama banget kita tak diskusi di milis guyubbahasa, teknologi bikin kita malah beralih ke lain hati. eh, lain sarana. Ada WAG Klinik Bahasa, he he. Silakan dibagi lagi, Mbak. Sernang bisa dapat tambahan ilmu yang bermanfaat mengenai bahasa, meski peminat bahasa macam kita populasinya minoritas. :D
Posting Komentar
Sila tinggalkan komentarnya.