Usai
sudah Debat Calon Presiden (Capres) ronde pertama di Hotel Bidakara, Jakarta
Selatan (17/01/2019) malam tadi. Belum bisa bernapas lega, sebab para pasangan
calon (paslon) masih harus naik ring sebanyak empat ronde lagi. Debat ronde
pertama ini bisa dijadikan patokan kita untuk menilai seberapa berpengaruhnya
Debat Capres yang akan datang terhadap keputusan peserta Pemilihan Presiden
(Pilpres) 17 april mendatang.
Saya
sendiri sempat menulis opini yang berjudul “Lika-liku Menuju Debat Pilpres”,
yang dimuat di Harian Analisa pada tanggal 10/01/2019 kemarin. Di tulisan
tersebut saya memberi tanggapan terkait berbagai polemik yang muncul sebelum
debat berlangsung, termasuk soal bocoran pertanyaan yang sudah diberikan sejak
awal.
Kekhawatiran
saya terbukti, Debat Capres kemarin hanya menjadi panggung hafalan bagi para
paslon. Moderator memang mengundi daftar pertanyaan dalam beberapa susunan amplop
yang katanya dalam kondisi tersegel, namun segel tersebut sebenarnya tidak
berguna karena para paslon selanjutnya hanya kembali pada kertas contekan yang
sudah mereka siapkan masing-masing. Toh, siapa pula jadinya yang bakal
mempermasalahkan segel amplop pertanyaan tersebut? Para paslon sudah punya
susunan jawabannya.
Daripada
itu, sudah punya modal contekan dari kisi-kisi yang diberikan, para paslon
masih memberikan beberapa jawaban yang “jaka sembung”. Jawaban “jaka sembung”
itu paling jelas pada saat masing-masing paslon melontarkan pertanyaan, dan itu
dilakukan oleh masing-masing paslon. Bisa dipahami bagaimana ruwetnya lagi
jawaban yang keluar dari kedua paslon bila bocoran soal panelis tidak
diberikan.
Justru
Membuat Suasana Semakin Panas
Semua berharap, Debat Capres seharusnya menjadi ajang penentu bagi para pemilih untuk memutuskan siapa Capres atau Cawapres pilihannya. Melalui Debat Capres, seharusnya para pemilih abu-abu atau yang tidak punya pilihan jadi punya pilihan, sebelumnya memilih paslon A jadi memilih paslon B, atau pemilih paslon B jadi memilih paslon A. Itu lah salah satu output yang harus dihasilkan dari debat ini.
Fakta
yang saya dapatkan tidak demikian. Debat Capres yang lebih mirip panggung
cerdas cermat anak sekolah ini saya yakini tidak akan merubah apapun. Terlihat,
malam setelah debat usai, meme-meme yang lebih bersifat
provokatif bertebaran di sosial media. Ada beberapa pakar dadakan yang
mengomentari setiap suku kata yang keluar dari paslon, ada pula yang
mengomentari setiap gerak-gerik hingga mimik muka paslon. Menyedihkannya,
komentar-komentar tersebut lahir dari hawa nafsu para pendukung untuk mencari
kesalahan paslon lawannya.
Akhirnya,
yang terjadi adalah parade para pendukung paslon A yang mengejek perkataan
paslon B dan para pendukung paslon B yang mengejek gerak-gerik paslon A. Tulisan-tulisan
dari para pendukung kedua paslon pun tak kalah buasnya. Masing-masing
menjunjung setiap suku kata yang keluar dari paslon yang ia dukung, dan
sebaliknya menyerang setiap suku kata yang keluar dari paslon lawan. Bukannya
semakin sejuk, suasana justru jadi semakin panas.
Dari
sini, saya berani mengatakan bahwa debat babak pertama barusan hanya membuat cebong
menjadi semakin menjadi cebong dan kampret yang semakin menjadi kampret. Tidak
ada metamorfosis cebong yang menjadi kampret atau kampret yang menjadi cebong.
Bahasa kerennya, harapan akan munculnya swing voters dari debat ini tidak
tercapai.
Pemilih
Harus Lebih Bijak
Sangat disayangkan, kelakuan pendukung garis keras dari kedua paslon ini justru membuat iklim politik semakin tidak sehat. Pendukung garis keras ini sudah mengajarkan masyarakat Indonesia untuk menjauhkan akal sehatnya dengan cara-cara yang tidak seharusnya: menyanjung penuh paslonnya dan sebaliknya membabi-buta menyerang paslon lawan. Hal-hal seperti ini yang secara nyata bisa membuat orang-orang semakin tidak tertarik pada proses politik.
Alih-alih
berharap ada swing voters, orang-orang yang sudah punya pilihan bisa saja
memutuskan untuk golput. Orang-orang yang sebelumnya masih abu-abu atau bingung
justru semakin bingung dan ujung-ujungnya juga memilih golput. Berangkat dari
hal ini, kemungkinan naiknya angka pemilih golput sangat besar, sebab diluar
sana banyak yang lelah melihat perilaku para pendukung garis keras ini.
Saya
sendiri, terlepas siapa pun pilihan saya, tetap mengakui bahwa tidak semua yang
keluar dari mulut kedua paslon di debat itu harus diapresiasi, begitu juga saya
bebas mengkritisi mereka tanpa terkecuali (bila memang patut dikritisi). Pun
bilamana ada beberapa pernyataan salah satu paslon yang kita tidak sependapat, kita
harus berbesar hati mengakuinya walaupun itu adalah paslon yang kita dukung,
bukan sebaliknya menutup mata dari kekurangan paslon yang didukung dan
menganggap kurang semua yang ada di paslon lawan.
Pada
akhirnya, kita tidak perlu jadi pendukung garis keras. Kita hanya masyarakat
biasa, bukan simpatisan partai dan bukan pula buzzer yang dibayar salah
satu tim pemenangan. Bertikai hanya membuat kita menjadi motor politik mereka
yang siap mereka panaskan kapan saja demi kepentingan mereka. Untuk itu, kita
harus lebih bijak lagi, harus mengedepankan akal sehat dan harus semakin
selektif. Tugas kita hanya memilih siapa yang pantas menjadi Presiden dan Wakil
Presiden untuk lima tahun mendatang, tidak lebih dan tidak kurang.
![]() |
Opini ini sebelumnya telah dimuat di surat kabar Harian Analisa, edisi senin tanggal 21 januari 2019, dapat dilihat juga di link ini berikut ini.Opini saya yang terbit di surat kabar saya muat di blog hanya sebagai arsip pribadi saja, tidak lebih dan tidak kurang. Salam damai dan keep writing.
Sumber gambar:
- Style.tribunnews.com/2019/01/17/10-meme-cuitan-kocak-debat-capres-2019-maaruf-amin-paling-jadi-sorotan
- Dokumentasi pribadi
Penghinaan terhadap kelompok tertentu juga meningkat mas.
BalasHapusIya mas, kita berharap hal-hal kayak gini bisa dihilangkan. Sayang pilpres cuma buat gaduh aja
HapusSampai sekarang, aku belum paham kenapa harus ada contekan padahal sebelumnya hapir tidak ada dan mungkin tidak ada sama sekali.
BalasHapusAlasan dari KPU agar salah satu paslon tidak ada yang dipermalukan bang :')
Hapus.... 🙄tapi kebanyakan yg terjadi adalah, pendukung tutup mata dan telinga untuk melihat kebenaran tentang capres pilihan mereka. Tapi aku nggak terlalu mau ikut-ikutan lah. Aku punya pengalaman pahit, didelet dari facebook beberapa teman. Kan status mereka muncul di timeline aku tuh... udah banyak komentarnya yang menyudutkan si temenku itu karena memang dari cara dia berbahasa menurutku kurang sopan, sampai bawa-bawa nama hewan... aku cuma komen.. sudah-sudah, jangan pada ribut. Ngebela capres gak usah sampe segitunya... kita semua kan teman... udah gitu doang. Aih sumpah gitu dowaaang... eh besoknya muncul notifikasi orang lain komenin status itu tapi aku ga bisa liat karena aku bukan temen lagi. Ya AllahðŸ˜
BalasHapusEh yu kno wat?
Malem taun baru dia (temen yg delet aku di facebook) whatsapp aku dong minjem duwit....
*bodo lah... ngemeng sama tembok sana.
Ini bukti nyata kalau pilpres bisa menghilangkan nalar berpikir orang-orang disekitar kita hahaha
HapusJangan emosi to, mungkin aja malam taun baru dia perlu beli kuota buat add facebook kamu balik xD
Pemimpin harus sering mengadakan lomba blog, supaya masyarakatnya sejahtera :D
BalasHapusIde yang bagus mas Bepe, supaya narablog2 lebih sejahtera lebih tepatnya..
HapusSayang ya, jadi kepikiran, narablog mah kurang diperhatiin paslon dalam visi misinya, harusnya ada janji pemberdayaan narablog ya hahaha
yups, sebagai pemilih memang wajib bijak, cermat, jangan terbawa arus provokasi , Berhati-hati pake medsos, banyak hoax wkwkwk
BalasHapusTepat sekali, hoax di mana-mana. Waspadalah, waspadalah
HapusMasyarakat kita memang unik, mereka mudah untuk ribut, namun setelah itu mereka berdamai lagi seolah tak pernah terjadi apa-apa, benar-benar berhati lapang, selapang lapangan bola
BalasHapusTetap saja, tidak ribut sama sekali tetap lebih baik hehehe
HapusOverall saya setuju dengan tulisan ini, tetapi kurang di paragraf terakhir. Buat saya sih sah-sah saja jadi pendukung garis keras atau pun jadi buzzer. Yang ga boleh itu mencela dan menyebarkan berita negatif, meski ia sudah jadi garis keras atau pun buzzer. Simaptisan garis keran dan buzzer harusnya ikut menaikkan nama yang didukungnya tanpa merendahkan apa lagi "membunuh" yang lain. Tugas kita bukan hanya memilih, tetapi mengawal capres-cawapres hingga nanti jadi, dan ketika sudah jadi kita pun mengawal mereka agar janji-janji ketika kampanye bisa terealisasi.
BalasHapusMaaf.
Wahh benar juga mas, emang saya terlalu "keras" menanggapi pendukung garis keras atau buzzer ini.
HapusBagaimana tidak, semua yang saya temukan hampir cuma memuja-muji dukungannya dan menjelakkan lawan, walaupun tidak semua demikian. Ya, tetap saja seharusnya saya bisa tutup endingnya dengan lebih "halus" lagi. Maaf, kebawa kesal duluan hehe
Terimakasih mas farid atas kritik dan masukannya
Absolutely agree dengan pendapat mas, terutama tentang format debat yang kayak cerdas cermat anak sekolah. Semoga bisa jadi bahan evaluasi buat KPU nantinya.
BalasHapusTerimakasih mas. KPU kemungkinan bakal evaluasi kok, utk format debat selanjutnya bakal beda katanya
Hapuspendapatnya bener nih! saya setuju bro! tapi kalau urusan begituan gak terlalu mengikuti sih, soalnya pertama emang gk minat dan gak terlalu suka sama hal begituan
BalasHapusmending bergumul dengan kata dan gambar :) ngerjain tugas dosen yang tak tau belas kasih :D
Haha jadi curhat soal tugas dosen nih. Emang begitu, mending stamina nya dihabiskan buat ngerjain tugas2 dosen yang super menyiksa itu, daripada habis buat ngikutin dunia politik tanah air yang semakin menjemukan hahaha
HapusDebat kemarin saya nggak tertarik nonton, jadi sayup-sayup dengerin suara televisi dari kamar sembari mengisi blog...hehe. Entahlah, ya seperti yang disebut di atas, meski disegel tapi ada contekannya gitu.. :(
BalasHapusNggak seru kan jadinya krn pake contekan. Hmm semoga nanti lebih seru lagi ya, jadi calon pemilih pun jadi lebih bijak lagi menentukan pilihannya
HapusPosting Komentar
Sila tinggalkan komentarnya.