Mari
sedikit bernostalgia ke era Liga Indonesia tahun 2007, di mana pada saat itu
tim kebanggaan masyarakat Sumatera Utara, PSMS Medan, berhasil menembus final
Liga Indonesia dan berhadapan dengan sesama tim asal sumatera, Sriwijaya FC.
Ketika itu, James Koko Lomell dan kawan-kawan yang diasuh pelatih Freddy Muli
harus mengakui keunggulan Sriwijaya FC yang diasuh oleh pelatih Rahmad Darmawan
dengan skor 1-3. Kebanggaan masyarakat pecinta sepakbola Medan dan Sumatera
Utara secara khusus tetap tak luntur walau saat itu tim Ayam Kinantan hanya
menjadi Runner up kompetisi. Ya, tahun 2007 PSMS medan adalah tim terbaik nomor
dua di Liga Indonesia.
Setelah
final Liga Indonesia tahun 2007, PSMS justru dihadapkan dengan masalah
finansial untuk persiapan musim selanjutnya. Manajemen tak mampu membayar
pemain-pemain yang saat itu sudah banyak berlabel Tim Nasional seperti Saktiawan
Sinaga, Markus Horison, ataupun Mahyadi Pangabean. Alhasil, 95 persen skuad runner
up liga Indonesia saat itu dibubarkan dan digantikan dengan pemain-pemain muda
untuk mengarungi musim selanjutnya.
Selain
harus menghadapi musim 2008/2009 dengan skuad baru dan pemain-pemain muda, PSMS
pun harus menerima kenyataan pahit akibat regulasi standar stadion yang
diperketat. Ayam Kinantan harus rela bermain di luar kandang alias menjadi tim
musafir karena stadion Teladan saat itu sangat jauh dari layak. Problem
keuangan, skuad muda, dan bermain sebagai tim musafir di kota orang membuat
PSMS tak kuasa bersaing di liga dan harus turun kasta di musim selanjutnya.
Setelah
berkutat cukup lama di kasta kedua, PSMS Medan sempat merasakan liga level
tertinggi lagi pada musim 2011/2012. Dan lagi, akibat tak mampu menyusun skuad
mumpuni yang dapat bersaing, Ayam Kinantan hanya mampu bertahan satu musim dan
turun kasta kembali di musim selanjutnya.
“Lagu
Lama” di Tubuh PSMS
Pada
dasarnya, “lagu lama” adalah istilah untuk mengutarakan pendapat yang telah
usang atau sudah sering dikatakan orang (sumber kbbi.kata.web.id). Sekarang ini
istilah tersebut lazim juga diutarakan untuk menggambarkan suatu hal yang
terus-menerus atau berulang kali terjadi. Seperti itulah gambaran kondisi di
tubuh tim yang pembinanya adalah Gubernur Sumut ini. Kondisi finansial klub
PSMS setelah final liga tahun 2007 masih tidak membaik hingga sekarang, yang
kata orang Medan masih “megap-megap” alias pas-pasan.
Tahun
2018, PSMS kembali lagi ke liga kasta tertinggi di Indonesia yang saat ini sudah
berganti nama menjadi Liga 1. Musim sebelumnya, skuad PSMS yang diasuh Djajang
Nurjaman sudah susah payah menembus final Liga 2 demi mendapatkan tiket promosi
naik kasta. Sayangnya, diakhir musim ini PSMS hanya menjadi juru kunci dan
harus kembali lagi ke Liga 2 musim depan. Ayam Kinantan cuma numpang lewat di
Liga 1.
Di
sini lah letak “lagu lama” itu. Untuk mengarungi Liga 1 tahun 2018 ini, PSMS
masih mengandalkan 90 persen pemain yang musim lalu berkompetisi di Liga 2.
Pemain-pemain tersebut sebenarnya belum terlalu mampu bersaing di kompetisi
level tertinggi di Indonesia. Artinya, lagi-lagi manajemen tak mampu membentuk
skuad yang ideal untuk bisa bersaing di level tertinggi, dan hasilnya bisa
dilihat di akhir musim ini: degradasi.
Pelatih
yang berjasa membawa Ayam Kinantan promosi dari Liga 2 kemarin, Djajang
Nurjaman, sejak awal musim sudah mengatakan bahwa target paling realistis PSMS
musim ini adalah bertahan, tak perlu muluk-muluk memasang target dapat bersaing
di papan atas. Walaupun Djanur (sapaan Djajang Nurjaman) dipecat dipertengahan
musim oleh manajemen, namun pelatih penggantinya yaitu Peter Butler (asal
Inggris) juga tak mampu menyelamatkan PSMS.
Cerita
berbeda ada pada Persebaya Surabaya dan PSIS Semarang yang merupakan sesama tim
promosi di musim ini. Kedua tim ini justru dapat bertahan di Liga 1, di mana
Persebaya nyaman di papan atas dan PSIS cukup nyaman di papan tengah. Persebaya
sendiri punya kualitas pemain lokal yang baik sedangkan PSIS memanfaatkan kuota
pemain asing sebaik-baiknya dengan mendatangkan pemain asing yang mumpuni. Di
satu sisi, PSMS yang datang dengan mayoritas skuad Liga 2 dan kualitas pemain
asing yang jauh dari ekspektasi, membuat tim ini hanya mengisi papan bawah
sepanjang musim dan akhirnya menjadi satu-satunya tim promosi yang gagal
bertahan.
“Lagu
lama” bukan hanya soal kondisi finansial yang berdampak pada buruknya kualitas
skuad PSMS. “Lagu lama” juga soal jajaran manajemen yang terus dikritik pecinta
sepakbola Sumut karena dianggap tidak kompeten mengurus klub profesional dan
nihil prestasi.
Rival
PSMS di era perserikatan seperti Persib Bandung bisa dijadikan contoh bagaimana
klub perserikatan bisa beradaptasi dengan perubahan iklim sepakbola modern yang
sangat mengandalkan kesehatan finansial dan pandai mengelola bisnis sepakbola
untuk menafkahi klubnya. Saat ini Persib merupakan salah satu klub dengan
kondisi keuangan paling sehat di Indonesia. Tak usah heran mengapa klub
tersebut setiap musimnya selalu dihuni pemain-pemain bintang.
Satu
klub lagi yang bisa dijadikan contoh adalah Bali United. Klub asal Bali ini
bisa dibilang baru di liga Indonesia. Namun jangan coba ejek mereka sebagi “anak
bau kencur”, sebab Bali United adalah
contoh bagi semua klub di Indonesia bagaimana sistem pengelolaan klub yang
modern dapat berjalan dengan sangat baik. Mereka punya fasilitas latihan yang
bagus, kerap menjaga kualitas rumput stadion pada standar terbaik, serta
membangun cafe di dalam stadion mereka demi memanjakan para pendukung klub
tersebut. Hal tersebut berdampak pada keuangan klub yang sehat karena sponsor
terus berdatangan bahkan menawarkan diri. Bandingkan dengan fasilitas latihan
tim PSMS serta kualitas stadion Teladan saat ini? Jauh dari kata layak untuk
sebuah klub profesional.
Revolusi
Manajemen
Maka,
tak ada kata lain selain revolusi habis-habisan. Manajemen PSMS saat ini tak
perlu memaksakan diri untuk terus mengurus tim karena mereka memang terbukti
tak mampu berbuat banyak. Mereka (manajemen) baru saja menyianyiakan kesempatan
PSMS untuk dapat kembali membuktikan diri sebagai salah satu tim terbaik di
Indonesia. Apa lagi, masih ada saja salah satu pengurus klub yang sudah
berpuluh-puluh tahun berada di sana dan nihil prestasi.
PSMS
harus diisi orang-orang baru yang lebih segar, yang mampu mengelola klub secara
profesional, serta pandai membangun bisnis sepakbola yang modern sehingga keuangan
klub berada pada kondisi yang baik, dan itu berdampak pada perbaikan kualitas
pemain-pemain yang bermain di PSMS kedepannya. Manajemen PSMS tak boleh terus-terusan
“kolot” dalam mengelola sebuah klub profesional.
Satu
lagi, soal stadion Teladan. Stadion yang telah berdiri sejak tahun 50-an ini
sudah waktunya “diistirahatkan” karena sudah sangat tidak layak menggelar
pertandingan kandang PSMS. Sudah waktunya kota Medan sebagai kota nomor tiga
terbesar di Indonesia memiliki stadion baru yang dapat menampung penonton lebih
banyak serta memiliki standar nternasional. Yang tak boleh dilupakan pula,
janji Gubsu ketika kampanye dulu soal ingin membangun stadion bertaraf internasional
di Sumut harus terus ditagih. Seharusnya Gubsu masih ingat dan terus berusaha merealisasikannya
karena beliau juga merupakan pembina PSMS Medan.
Terakhir,
ucapan selamat patut diberikan kepada Persija Jakarta yang sukses menjuarai Liga
1 tahun ini. Mereka punya skuad yang layak untuk juara. Untuk PSMS Medan, sebaliknya
harus mengucapkan selamat tinggal pada Liga 1 karena musim depan kembali ke
Liga 2. Masalah di tubuh PSMS layaknya benang kusut, terkadang kembali
terdegradasi membuat semua pihak sadar bahwa benang kusut tersebut harus segera
diurai melalui perbaikan dan revolusi di tubuh manajemennya.
Sumber gambar:![]() |
Opini saya di Harian Analisa, 17 Desember 2018 |
Tulisan ini adalah opini saya yang telah diterbitkan oleh Harian Analisa edisi Senin, 17 Desember 2018. Opini saya muat di blog ini sebagai arsip atau dokumentasi pribadi saya saja. Salam damai dan keep writing.Note: Opini dapat dilihat di web Harian Analisa: Analisa Daily
- https://www.bolasport.com/read/311352425/lawan-persija-psms-dilanda-dua-masalah
- Dokumentasi Pribadi
Posting Komentar
Sila tinggalkan komentarnya.