![]() |
Sumber: aksi.id |
Ada-ada
saja ulah Tim Sukses (Timses) Calon Presiden (Capres) di negara berkembang ini.
Semakin dekat menuju 17 april 2019, kontestasi semakin riuh oleh parade saling
lapor-melapor antar Timses. Semua laporan hampir disebabkan oleh kasus
pencemaran nama baik ataupun ujaran kebencian. Undang-undang nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi payung hukum
paling favorit dari para pelapor ini.
Paling
hangat, nama musisi yang terjun ke dunia politik, Ahmad Dhani, harus merasakan
dinginnya hotel prodeo akibat cuitan “idiot” yang ia posting di media sosial
pribadinya. Selanjutnya, masih dari kubu yang tidak jauh, nama akademisi
populer Rocky Gerung juga tersangkut pelaporan atas kalimat “kitab suci itu
fiksi” yang ia lontarkan di salah satu forum diskusi di televisi swasta.
Dari
kubu seberangnya lagi, nama Ketua BTP (Basuki Tjahaja Purnama) Mania, Immanuel
Ebenezer juga masuk dalam berkas laporan kepolisian atas ucapannya menyebut
Alumni 212 sebagai wisatawan penghamba uang. Tak sampai disitu, bahkan nama
Capres dari kubu petahana beserta beberapa nama Timsesnya juga dilaporkan
akibat pidato Jokowi soal keterlibatan atau propaganda Russia.
Berdalil
dengan UU ITE
UU
ITE yang disahkan pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini tanpa
diduga menyeret banyak korban, terutama setiap menjelang Pemilihan Umum dan
korbannya adalah para politisi. UU ITE dijadikan dalil atas pernyataan-pernyataan
politikus yang menyinggung atau menyindir pihak atau kelompok tertentu.
Biasanya pihak yang tersinggung adalah lawan politiknya.
Dikutip
dari tulisan Scholastica Gerintya yang dimuat oleh tirto.id (30/08/18),
menyebutkan bahwa laporan yang paling
banyak masuk ke kepolisian adalah berupa konten di media sosial baik itu dalam
bentuk teks, meme, atau video. Konten bernuansa ejekan dan ujaran kebencian
yang bertendesi politik adalah sasaran empuk bagi para pelapor.
Masih
berasal dari sumber yang sama, ditemukan beberapa pasal yang paling banyak
digunakan sebagai dalil pelaporan. Yang paling banyak adalah pasal 27 UU ITE
yang mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik. Pada tahun 2016, pasal ini
digunakan pada 54 kasus, dan tahun 2017 kasus yang dilaporkan berjumlah 32.
Lalu ada pasal 28 ayat (2) UU ITE yang juga tak kalah banyak digunakan, di mana
pasal ini mengatur setiap orang untuk tidak menyebarkan informasi yang
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Kedua
pasal tersebut, oleh beberapa pihak disebut sebagai salah dua dari sekian
“pasal karet” yang ada pada UU ITE. Mengapa demikian? Sebab pasal-pasal dalam
UU ITE seperti contoh sebelumnya rentan digunakan sebagai alat balas dendam,
membungkam kritik, ataupun sebagai alat untuk mempersekusi perorangan atau
kelompok. UU ITE pada akhirnya sarat digunakan sebagai alat saling serang kedua
kubu politik. Sekedar informasi, Undang-undang yang sama juga dijadikan dalil
atas penahanan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Menunggu
Lawan Politik “Keseleo Lidah”
Saya
tidak mau melebar dengan mengomentari sekian banyak kasus yang terjerat akibat
UU ITE. Saya menemukan hal yang lebih menarik, di mana sejatinya ada pola
tertentu yang digunakan kedua kubu Timses politik untuk menjegal lawannya
dengan dalil Undang-undang ITE ini.
Pola
yang paling kentara adalah kedua kubu saling menunggu lawan politiknya “keseleo
lidah” alias salah ucap. “Keseleo lidah” ini bisa menyebabkan kalimat atau
cuitan yang keluar dari mulut atau jari politikus mengarah ke unsur fitnah,
ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik. Panggung “aksi keseleo” lidah ini
sendiri bisa terjadi pada berbagai medium. Bisa terjadi di diskusi politik yang
saban hari ditayangkan stasiun televisi swasta, pada cuitan beberapa tokoh
politik di media sosial, atau pada pidato politik para tokoh baik Capres-Cawapres
maupun Tim Suksesnya yang terekam video.
Pola
seperti ini terjadi seiring panasnya suhu politik dari kedua kubu, sehingga pernyataan-pernyataan
yang terlempar ke publik bisa berpotensi menimbulkan kontroversi. Panasnya
perdebatan politik mau tak mau harus dihadapi dengan kepala dingin, jika tidak,
“keseleo lidah” bisa terjadi kapan saja dan berujung pada pelaporan pencemaran
nama baik atau ujaran kebencian.
Tetapi,
walaupun terlihat samar-samar, pola ini sebenarnya gampang terbaca. Saya
sedikitnya dapat mencium trik khusus para politisi di setiap perdebatannya. Seringkali,
para politisi ini seperti sengaja membawa perdebatan ke arah yang lebih panas
dengan kalimat-kalimat pancingan yang membawa emosi lawan politiknya. Emosi ini
lah yang diharapkan menjadi tak terkendali dan membuat lawan politiknya
“keseleo lidah”. Politikus juga manusia biasa, tentu mereka harus lebih
berhati-hati lagi dalam berucap atau menggunakan sosial medianya.
Tentu
ini adalah subjektifitas Saya dalam memperhatikan jalannya kontestasi menuju 17
april nanti. Dan memang terbukti, parade saling lapor-melapor antar kedua kubu
benar-benar terjadi. Tak terpungkiri pula, bukti yang dipakai dalam pelaporan
adalah cuitan media sosial atau potongan diskusi atau pidato yang terekam video.
Auara
politis dari kasus-kasus pelaporan dengan dalil UU ITE ini justru menjauhkan
kita dari esensi dibentuknya si Undang-undang ini. UU ITE pada tahun 2008
sebenarnya dibentuk sebagai persiapan Indonesia dalam menghadapi dunia ekonomi
digital, yang mana pada saat itu Indonesia belum mempunyai landasan hukum yang
jelas soal transaksi ekonomi digital. Benar, dari namanya saja (Undang-undang
Informasi Transaksi Elektronik), UU ini fokusnya adalah mengatur transaksi
ekonomi berbasis digital. Namun, seiring waktu, adanya beberapa pasal karet seperti
yang sudah Saya kutip di atas membawa UU ITE ke ranah yang lebih melebar dan jauh
dari esensi dibentuknya UU ITE ini.
Oleh
karena itu, saya sendiri merujuk pada sebuah kesimpulan sederhana dalam
memandang fenomena saling lapor anggota Timses ini. Saya menyimpulkan bahwa fenomena
ini terjadi lewat “akal-akalan” beberapa pihak dalam menggunakan UU ITE yang
sebenarnya tidak pada tempatnya. Selain itu, suhu politik yang sudah terlanjur
tidak sehat akhirnya berujung pada saling serang dan saling lapor dari
masing-masing kubu, di mana siapa saja yang “keseleo lidah” harus siap-siap
dilaporkan lawan politiknya. Bahkan dalam beberapa kasus, nama Jokowi maupun
Prabowo sekalipun tak terlepas dari aduan berlandaskan UU ITE.
Jika
saya boleh sedikit berkhayal, saya jadi membayangkan bagaimana nantinya jika
penjara justru dipenuhi oleh orang-orang yang terjerat UU ITE ini. Uniknya,
penjara itu ternyata diisi oleh politisi yang kerap “keseleo lidah” dalam
perdebatan politik di depan publik. Atau, karena kedua pasangan calon yang ikut
pertarungan juga rentan dilaporkan, jangan-jangan nantinya kedua pasangan bisa
masuk jeruji besi juga. Bisa dibayangkan bagaimana itu terjadi, Pilpres 17
april 2019 mendatang pasti gagal terlaksana. Ah, semoga ini memang cuma
khayalan saya saja.
***
![]() |
Tulisan ini telah dimuat di rubrik opini Harian Analisa hari Sabtu, 16 Februari 2019. Dapat dilihat juga di link: Harian Analisa/Opini |
._. aku gak tau musti komen apa yah. Politisi itu mbingungi.
BalasHapusAku gak ikut-ikutan ah. Ngerik. Tapi yah, seandainya nanti pilpres gagal... I'd like to see that happen haha. Biar fair ya gak ada yg kepilih. Gak ribut lagi. Atau malah memancing keributan lain... ya pasti ada aja hal yg akan diributkan. Pilpres gagal... kelompok sebelah, "Ini salahmu!" Kelompok yg lain, "Nggak. Ini salahmu!" Wes podo wae...
Kalau pilpres gagal ya lebih parah, terus presidennya sopo ntar hahaha
HapusBener, ya ujung2nya saling menyalahkan lagi, ribut lagi.
Soal pilpres gagal saya cuma mancing2 doang kok wkwkw
Selamat sudah dimuat "Analisa" lagi. Artikelnya lugas dan fokus menyorot suatu topik bahasan tanpa melebar atau bertele-tele. pencapaian matang.
BalasHapusParade demikian hanya akan membingungkan masyarakat serta bikin sebal sebagian kalangan, atau malah ada yang ogah terlibat serta berposisi netral tanpa memihak namun diam-diam mengumpat serta kehilangan rasa kepercayaan.
Beranda Facebook saya juga panas. Ada yang memihak kubu, ada juga yang apatis atau skeptis. Sepertinya rakyat Indonesia dan para pemimpinnya berikut para politikus masih harus belajar banyak mengenai bertata negara, bukan melulu mengenai politik yang kerap perebutan kekuasaan melainkan bagaimana mengatur stabiulitas negara agar rakyat sejahtera dan kehidupan lebih bermartabat. Ini cuma pandangan utopis saya.
Begitulah yang terjadi mba Rohyati. Politik yang fanatik di Indonesia cuma berujung puja-puji buta saja. Kubu A merasa paling benar, Kubu B tak mau kalah, rakyat juga ikut2an panas
HapusPandangan mba Rohyati soal politik sepertinya harus dimuat juga di media cetak hehehe
Emang UU ITE ini bener-bener menjadi senjata utama untuk nyerang lawan di media internet.. Saya ingin sekali April cepat berlalu, this capres-capres things make me sick!
BalasHapusHiks
Kita aja yang nonton doang capek rasanya ckck
HapusMemang lucu negara ini. Iya begitulah politik.
BalasHapusJADI ENTERPRENEUR YUK!
Begitulah mas Abdul
HapusKunjungan Perdana..
BalasHapusDulu ada pameo, lawan tulisan dengan tulisan.. sekarang malah lawan tulisan dengan laporkan.. Efek undang-undang kali yak :D
Yah begitulah mas, krn banyak pasal karet di UU ITE, jd melebar ke mana-mana
HapusAku suka banget sama artikel ini.
BalasHapusGilaaa.
Mewakili perasaan ku banget yang cuma bisa diem ini hahahhaa.
Kadang capek memang liat drama salah salah an ini.
Pengen cepet cepet kepiliha aja, siapapun yang menang semoga yang terbaik,
Wahh terimakasih sudah menyukai,
HapusBener, melelahkan banget drama salah2an kayak gini, Pilpres membuat jemu keadaan sosial kita
Posting Komentar
Sila tinggalkan komentarnya.